Kehilangan: Esensi Berduka dan Bagaimana Melaluinya

11/21/2018 08:46:00 PM
Tulisan ini semata-mata merupakan bentuk notulensi tertulis dari acara yang saya ikuti, yakni #LaluiLuka: "A Daughter's Journey" Movie Screening and Discussion. Acara tersebut merupakan salah satu mata acara dari Mental Health Matters Festival 2018 yang diadakan di Gedung Pascasarjana FIK UI, Depok, pada Sabtu, 17 November 2018 lalu.

Kehilangan: Esensi Berduka dan Bagaimana Melaluinya

Pada dasarnya, saya menyadari bahwa semua orang pasti mengalami kehilangan. Kehilangan yang dirasakan pun dapat memiliki bentuk yang berbeda-beda. Bukan sekadar kehilangan barang atau hal material lainnya, tapi juga kehilangan sosok yang begitu berarti bagi kita. Baik sosok yang memang dekat, anggota keluarga misalkan, hingga sosok yang menjadi inspirasi bagi kita, seorang idola maupun public figure yang kita kagumi.

Dalam diskusi kali ini, terdapat pemaparan yang disajikan oleh Adelia Khrisna Putri. Ia merupakan seorang dosen psikologi klinis dari Universitas Gadjah Mada. Mbak Adel sendiri sempat menempuh pendidikannya di University College London pada tahun 2015-2016. Ia mendalami clinical mental health sciences kala itu.

Understanding Loss, Grief & Bereavement
Image credit: i.etsystatic.com, edited by me

Mbak Adel membuka pemaparannya dengan mengutip quote dari C.S. Lewis, "No one ever told me that grief felt so like fear." Duka itu selalu didampingi oleh rasa takut. Takut akan apa? Ketakutan akan kehidupan yang tidak lagi sama seperti sebelumnya. Takut akan rasa bersalah karena seseorang itu telah tiada. Hingga, ketakutan untuk benar-benar bisa bangkit dari keadaan berduka.

Ketika berduka, banyak sekali mitos-mitos yang melingkupi. Mbak Adel setidaknya memaparkan ada lima mitos yang sering muncul ketika seseorang sedang berduka. Mitos ini merupakan bentuk reaksi dan anggapan yang muncul dari orang di sekitar. Pertama, seseorang akan berduka hanya jika kehilangan seseorang, terutama keluarga terdekat. Nah, nyatanya tidak demikian. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, seseorang dapat berduka karena berbagai macam alasan. Serta, intensitas dari kedukaan tersebut pun beragam. Sebagai contoh, seseorang dapat berduka ketika ia mengalami pelecehan seksual. Dia memang tidak kehilangan seseorang, tapi bukan berarti dia tidak dapat berduka. Ia berduka karena ia tak lagi merasa utuh.

Kedua, terkadang, banyak orang yang menyamakan duka dengan emosi-emosi seperti sedih dan marah. Padahal, duka dapat memberikan reaksi yang lebih dari sekadar emosi. Ketiga, banyak yang menganggap bahwa rasa duka itu dapat dikendalikan. Nyatanya, tidak demikian. Rasa duka tidak dapat dikendalikan. Kita tidak dapat membuat diri kita berhenti berduka, karena rasa itu dapat datang secara tiba-tiba.

Keempat, durasi seseorang untuk berduka itu dapat diprediksi. Banyak asumsi di masyarakat yang menyatakan setelah beberapa bulan, seharusnya dia sudah pulih. Nyatanya, asumsi tersebut tidak dapat dibenarkan. Masa pemulihan seseorang dari duka akan berbeda-beda. Belum tentu orang-orang yang terlihat ceria dan bisa mengerjakan aktivitasnya seperti sebelumnya benar-benar sudah pulih. Kita tidak tahu bukan, bisa saja di waktu tertentu mereka jatuh dan menangis karena duka yang mereka rasakan.

Kelima, everyone always said that we will move on eventually, but the fact is, we will move through or move with the grief. Duka yang kita alami, akan terus ada dalam diri kita. Bedanya adalah, seberapa kuatkah kita untuk betul-betul bisa hidup dengan duka tersebut. Terakhir, banyak orang yang enggan menanyakan keadaan seseorang ketika orang tersebut berduka. Banyak yang takut menyinggung perasan dari orang tersebut. Nyaranya, orang yang berduka perlu diberi kesempatan dan juga didengarkan. Mereka membutuhkan seseorang yang bisa mendengarkan mereka. Mendengar segala rupa kesedihan mereka. Seperti kutipan-kutipan yang selalu muncul, terkadang seseorang hanya butuh didengarkan. 

Tahapan dalam Berduka
Pada dasarnya, tidak ada tahapan yang saklek mengenai berduka. Akan tetapi, orang-orang yang berduka kebanyakan mengalami tahapan-tahapan ini. Pertama, normal functioning. Terjadi ketika sesorang baru saja merasakan kehilangan. Keadaan ini terjadi karena pemikiran rasional lebih terdorong. Misalkan, salah seorang anggota keluarga meninggal, maka orang tersebut mengeyampingkan duka yang ia rasakan. Ia berusaha tegar dengan mengurus segala hal yang dibutuhkan untuk melakukan upacara kematian dan lainnya.

Kedua, anger. Ketika telah selesai melakukan fungsi normal, rasa marah terkadang langsung muncul. Marah terhadap orang yang pergi, hingga marah kepada diri sendiri karena belum berbuat banyak untuk yang pergi. Bahkan, bisa pula menyalahkan diri atas kepergian yang pergi.

Ketiga, detachment. Keadaan ketika seseorang telah mulai mengikhlaskan yang telah pergi. Meskipun memang tidak semudah yang dibayangkan. Waktu yang dibutuhkan bagi setiap orang pun berbeda. 

Terakhir, acceptance. Penerimaan bahwa orang tersebut memang seharusnya pergi dan tidak ada lagi usaha untuk menyalahkan diri sendiri.

Yang selalu menjadi pertanyaan, apakah setiap orang akan selalu mengalami tahapan tersebut secara berurutan? Jawabannya adalah tidak. Setiap orang pasti memiliki tahapan berdukanya masing-masing.

Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh para penyintas kehilangan?
Tentunya, para penyintas kehilangan akan memiliki caranya sendiri untuk dapat melalui masa berduka. Akan tetapi, setidaknya ada beberapa hal yang harus diingat. Ground yourself, you aren't responsible for the death of someone you love. Jangan pernah berpikir kalau kamu merupakan penyebab seseorang yang kamu sayangi itu pergi dari hidupmu.

Plan ahead. Akan ada hari-hari yang berat. Hari-hari yang tidak mudah kamu lewati karena memiliki kenangan di masa lalu dengan orang tersebut. Maka, rencanakan hari itu sebaik mungkin. Bahkan, mintalah bantuan orang lain untuk menemanimu untuk menguatkan kamu di hari itu.

Don't limit your grief. There is no something wrong if you need a lot of time to grief. If you need professional help, just seek them and ask help from them. Bagaimanapun, tidak semua orang dapat pulih dari kehilangan yang ia alami sendirian.

Connect with other people and involve yourself in meaningful activities. Kita memang butuh waktu untuk sendirian terkadang. Akan tetapi, jangan lupakan kemungkinan kita akan merasa sangat rapuh. Jadi, tak ada salahnya dengan membuat diri kita melakukan aktivitas bersama dengan orang lain. Itu salah satu cara kita untuk menguatkan diri.

The last, give yourself permission to what you feel. If you don't, selamanya kamu akan menyimpan rasa duka kamu. Jika kamu tidak pernah mengizinkan diri kamu merasakan apa yang kamu rasakan sebenarnya, you won't be in any good conditions anymore.

Bagaimana kalau kita adalah orang terdekat dari penyintas? Apa yang bisa kita lakukan?
Satu hal yang paling penting adalah, jadilah pendengar yang baik bagi mereka. Menanyakan kabar mereka saja pun sudah cukup. Terkadang memang kita merasa enggan untuk menanyakan keadaan dari para penyintas. Akan tetapi, nyatanya itulah yang mereka butuhkan. Sebuah perhatian yang terlontar lewat pertanyaan. Kemudian, sebisa mungkin, be fully present. Kehadiran kita secara fisik akan jauh lebih berarti ketimbang keberadaan kita melalui media sosial. We can hug them directly and tell them that everything would be all right eventually. We can tell them that we will always be on their side.

Dalam penutupnya, Mbak Adel menyatakan bahwa terkadang, membicarakan duka serasa menjadi tabu di masyarakat Indonesia. Hal ini malah cenderung membuat seseorang enggan untuk membicarakannya. Pada akhirnya, when no one is talking about something, it could fuels the idea that is shameful. Selain itu, memang benar bahwa waktu akan begitu tepat untuk menyembuhkan luka. Tapi terkadang kita lupa ada hal-hal yang lebih esensisal dari proses penyembuhan karena duka.

So, everyone, just be the one who knocks on their door. They need you to tell them that everything is gonna be okay.

***

Isu kesehatan mental merupakan isu yang baru bagi saya. Dalam artian, saya belum pernah mempelajari isu ini sebelumnya. Saya tahu bahwa isu ini menjadi isu yang cukup krusial akhir-akhir ini. Dengan mengikuti acara ini, setidaknya saya memahami salah satu bagian dari isu kesehatan mental yang ada. Bukankah, isu kesehatan mental menjadi isu yang sangat dekat dengan kita? Bahkan, mungkin kita betul-betul mengalaminya.

Best regards,
Ra

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.