Mereka Juga Berhak Menangis

7/10/2017 12:05:00 PM
Sejak aku masuk kuliah, dapat dibilang kalau aku punya pemikiran yang jauh lebih terbuka dibandingkan sebelumnya. Aku memahami bahwa, tidak semua hal yang dianggap 'tidak normal' bagi masyarakat itu menjadi benar. Aku percaya bahwa ada alasan-alasan mengapa pada akhirnya muncul satu kejadian yang, lagi-lagi, diistilahkan sebagai hal yang tidak normal.

Salah satu hal yang cukup mengusikku akhir-akhir ini adalah, adanya perbedaan perlakuan terhadap identitas gender seseorang. Terdapat stigma yang muncul di masyarakat mengenai gender laki-laki. Mereka seolah dituntut untuk menjadi sosok yang kuat. Sosok yang mampu mengendalikan emosi dan menjadi pihak yang bisa menguasai keadaan. Namun, apakah benar demikian?

Aku rasa tidak. Aku akui, kebanyakan teman dekatku adalah laki-laki. Mereka pun, adalah orang-orang yang kupercayai. Tak heran apabila kami sering berbagi cerita. Mungkin, imejku yang terbentuk sebagai seorang pendengar yang baik, membuat mereka jauh lebih terbuka terhadapku. Mungkin. Itu subjektif asumsiku.

Sumber gambar: google, disunting oleh Puji
Akan tetapi, suatu ketika, salah satu teman pun bertanya padaku, "Puj, menurutmu apakah seorang cowok itu nggak boleh baper?" Kala itu, aku pun langsung menoleh dan mengangkat alis. "Kenapa nanya kayak gitu?" Si temanku ini terdiam sebentar. Lalu, dia pun menjawab, "Aku pernah ditegur karena terlalu terbawa perasaan. Katanya, seharusnya laki-laki itu tidak demikian. Harusnya menjadi lebih kuat dari perempuan."

Jujur, aku meringis mendengat jawaban temanku itu. Aku selalu berpikiran, kita ini adalah manusia. Sama-sama manusia. Di hadapan Tuhan pun kedudukan kita sama. Tak peduli kita adalah laki-laki ataupun perempuan. Seharusnya, stigma atau stereotipe, atau apapun lah itu namanya mengenai bagaimana seharusnya seorang laki-laki bertindak dan berlaku, perlu ditilik kembali.

Menurutku, laki-laki juga bisa terbawa peraaan. Mereka bisa menangis dan bersedih. Mereka bisa frustrasi dan depresi. Mengapa aku bisa berkata demikian? Karena nyatanya aku benar-benar mendengar cerita dari mulut mereka sendiri. Mulai dari cerita yang menyenangkan, "Puj, aku kemarin baru menang lomba esai, loh." Sampai cerita yang membuatku meringis karena aku tak tahu harus merespons seperti apa, "Puj. Gue rasanya pengin mati aja. Gue merasa nggak berguna."

See. There must be a fucking reason about their saying or attitude. Pasti ada beban besar yang mereka tanggung. Sayangnya, status mereka sebagai laki-laki kadang kala membuat mereka diam dan enggan berbagi. Bahkan, sering aku berpikir bahwa, terkadang, teman-temanku ini punya masalah yang lebih berat dibandingkan aku. Akan tetapi, mereka tetap mencoba untuk menutupinya. Karena, masih ada anggapan bahwa tidak seharusnya laki-laki menunjukkan kelemahannya. 

Aku tahu kok, nggak akan mudah bagi seseorang untuk membagikan ceritanya padaku. Dibutuhkan waktu yang tidak singkat untuk pada akhirnya mereka mempercayaiku. Akan tetapi, aku percaya, dengan mereka mencoba bercerita, beban yang mereka tanggung akan sedikit terangkat. Aku memang tidak menjanjikan problem solved, but I still believe that it could relieving.

Pada akhirnya, aku ingin berkata bahwa pasti ada sisi lain dari diri seorang laki-laki. Kalau seorang perempuan dipandang tidak selamanya lemah, maka laki-laki pun demikian. Tidak selamanya mereka kuat menghadapi segala hal yang mereka temui. Pada akhirnya, mereka pun bisa sakit hati. Mereka juga berhak menangis kalau memang keadaan memaksanya demikian.

Sincerely,
Ra

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.