Kita Ditakdirkan untuk Bertemu tapi Tidak Bersatu

Hari itu, kuikuti langkah lebarmu menuju aula pertemuan. Aku tersenyum tipis saat teman-temanmu memandangku dengan dahi berkerut. Kukuatkan pegangan tanganku padamu. Kamu hanya terus menuntunku untuk duduk di deretan nomor dua dari belakang.

"Memangnya aku boleh berada di sini?" bisikku pelan ke telingamu.

Kamu tersenyum menenangkan padaku, "Tenang, saja. Tidak akan apa-apa. Aku hanya perlu datang sebentar. Setelah ini kita pergi."

Aku pun terdiam. Memandang sekelilingku dengan enggan. Sesekali, aku melempar senyum saat ada yang bertemu tatap denganku. Mereka terlalu berbeda dariku. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku tahu kalau aku seharusnya tidak berada di sini. Seharusnya, tempatku bukan di sini. Tapi, aku tak bisa pergi sebelum kamu selesai dengan urusanmu di sini.

Terdengar denting piano dari sudut ruangan. Kamu dan teman-temanmu menyanyikan lagu rohani kalian. Begitu syahdu di telingaku. Aku hanya terdiam dan menunduk. Membiarkan telingaku terbuai oleh lagu itu. Selama tiga puluh menit kemudian, acara itu terus berlangsung. Dan akhirnya, selesai. Kamu menggandengku menuju pintu keluar. Tetapi, tepat sebelum kita keluar, seorang pendeta menghampirimu.

Source: here, edited by me.
"Apa kabar, Frizel? Sudah lama sekali kita tidak bertemu," ucap bapak pendeta.

"Ahh, Romo. Syukurlah, saya sehat-sehat saja. Bagaimana dengan Romo? Sehat?" tanyamu dengan senyum lebar. Jujur saja, aku senang melihat senyummu yang demikian. Begitu lepas dan membuat wajahmu semakin cerah.

"Saya juga sehat. Ohh, siapa ini? Kekasih kamu?" tanya bapak pendeta sambil menunjuk diriku.

Kamu tersenyum dan mengangguk. Sedangkan aku, langsung salah tingkah. Aku tahu kalau wajahku sekarang sudah memerah.

"Siapa namamu, anakku?" tanya bapak pendeta padaku.

"Saya Zaskia, Romo," jawabku malu-malu.

"Kamu gereja mana? Saya sepertinya tidak pernah melihat kamu di sini," ujar bapak pendeta.

Aku tercekat. Seakan dari mulutku tak ada satu kata pun yang bisa keluar. Aku bingung harus menjawab apa.

"Ehm, saya tidak ke gereja, Romo," jawabku singkat.

Kamu mempererat genggaman tanganmu, lalu menoleh pada bapak pendeta, "Zaskia muslim, Romo."

Seakan mengerti, bapak pendeta hanya tersenyum tipis. Ia hanya mengangguk takzim. "Maafkan saya, anakku. Saya tidak tahu. Baiklah, anakku. Saya pergi dulu. Semoga Tuhan selalu bersama kalian."

Aku dan kamu langsung pamit dan segera masuk ke dalam mobilmu. Aku menghela napas. Rasanya memang aneh saat aku yang seperti ini, malah berada di ingkungan yang sungguh berbeda. 

"Maaf kalau membuat kamu tidak nyaman. Aku tidak tega membiarkan kamu pulang sendiri," katamu sambil menatap mataku.

Aku mengangguk, "Tidak apa-apa. Aku mengerti. Hanya saja, aku merasa aneh saat bapak pendeta menanyaiku."

Kamu tersenyum padaku. Tentu saja, aku juga membalas senyummu. 

Meskipun dalam diam, kami tahu, jurang perbedaan kami ini akan terus menganga. Mau bagaimanapun, pada akhirnya hubungan ini tidak bisa kemana-mana. Aku dan kamu boleh jadi ditakdirkan untuk bertemu dan berkenalan lebih jauh. Menjadi dua orang yang dekat satu sama lain. Sayangnya, kita juga harus menyadari, mungkin perbedaan yang ada di antara kita akan membuat kita tidak dapat bersatu. 

Lalu, kita harus bagaimana?

Tulisan ini ditujukan untuk kalian, sepasang kekasih yang berbeda keyakinan.

23/06/2016
Ra

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.